Kabar Latuharhary

Komnas HAM Berkomitmen Inisiasi Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM yang Berat

Latuharhary- Penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat di Indonesia memerlukan komitmen dari seluruh pihak.

“Hanya Komnas HAM yang diberikan mandat oleh Undang-Undang untuk menjadi penyelidik proyustisia pelanggaran HAM yang berat. Komnas HAM berada di garis depan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat,” tutur Wakil Ketua Internal Komnas HAM RI Munafrizal Manan dalam Webinar Nasional bertajuk “Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Indonesia” , Jumat (10/12/2021).

Sesuai Pasal 19 UU Nomor 26 Tahun 2000, lingkup kewenangan Komnas HAM untuk mencari dan menemukan ada tidaknya suatu peristiwa pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM masa lalu. Komnas HAM berwenang untuk memastikan sejumlah kejelasan informasi terkait identitas korban, waktu dan lokasi kejadian, keterangan saksi dan bukti pendukung serta terpenuhi tidaknya unsur pelanggaran HAM yang berat. 



Adapun penyelesaian pelanggaran HAM  dapat dilakukan melalui mekanisme yudisial dan non yudisial. Secara yudisial telah diatur secara spesifik pada Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sedangkan non yudisial diatur dalam Pasal 47 UU No. 26 Tahun 2000. Penyelesaian non yudisial harus memenuhi dua kriteria minimal, yaitu  dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta lembaga KKR harus dibentuk dengan undang-undang. 

“Dari 12 berkas yang sudah diproses berkasnya, 9 berkaitan dengan dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, sebelum tahun 2000,” kata Munafrizal.  

Terkait perkembangan kasus pelanggaran HAM berat dan masa lalu, Kejaksaan Agung  telah membentuk tim penyidik Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat di Paniai, Provinsi Papua.  Tim ini terdiri dari 22 orang jaksa senior dan diketuai oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) yang sejauh ini bekerja dengan fokus pencarian dan pengumpulan alat bukti pelanggaran HAM.

Upaya yang dilakukan Komnas  HAM pasca penyelidikan pro yustisia, yaitu Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM yang Berat (SKKPHAM), Pemetaan Hak Korban untuk Pemenuhan Hak Korban,  Komunikasi dan Koordinasi dengan Kementeri/Lembaga terkait, Koordinasi dengan Pemerintah Daerah, serta Kampanye dan Edukasi Publik. 

 
“Kasus ini seolah-olah tidak jelas karena seringnya bolak balik berkas, kampanye dan edukasi publik dibutuhkan,” kata Munafrizal

Lebih lanjut, ia juga menyebutkan bahwa Komnas HAM saat ini sedang membuat Standar Norma dan Pengaturan yang berhubungan dengan pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat. (SP/IW)

Short link