Kabar Latuharhary

Pembentukan KKR Mencuat, Harapan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM yang Berat

Jakarta - Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat membutuhkan komitmen bersama seluruh pihak terkait untuk menghentikan praktik impunitas. Pembahasan mengenai RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) kembali menguat tatkala Pemerintah sedang menyempurnakan naskah RUU tersebut.

Fakta terkini memerlihatkan belasan peristiwa pelanggaran HAM yang berat belum mendapatkan kepastian hukum. Perkembangan terbaru, Kejaksaan Agung melalui Surat Keputusan Nomor 267 Tahun 2021 tentang Pembentukan Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM Berat di Paniai, Papua membentuk tim khusus beranggotakan 22 penyidik untuk menangani kasus yang terjadi di Paniai, Papua.

Dalam diskusi publik yang bertajuk "KKR yang Cocok untuk Indonesia", Wakil Ketua Komnas HAM RI Amiruddin menyampaikan bahwa Pemerintah belum mampu mencari jalan keluar dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi di masa sistem politik yang tidak demokratis.

Harapannya, KKR bukan sekadar menjadi tempat pemberian bantuan. Idealnya, KKR menjadi alat pengungkap kebenaran dari peristiwa pelanggaran HAM yang berat.

Untuk membentuk KKR yang efektif, diperlukan tujuan dasar sebagai pegangan. Amir menyebutkan, salah satu tujuan dasar ialah memperbaiki berbagai kerusakan yang ditimbulkan dari terjadinya pelanggaran HAM. “Itu tujuan utamanya,” tegasnya. Kedua, jika pembentukan KKR berhasil dan diterima semua pihak, mampu menjadi pegangan untuk mencegah berulangnya pelanggaran HAM terjadi di masa mendatang.

Lebih lanjut, Amir menegaskan pentingnya pengungkapan kebenaran dalam menuntaskan peristiwa pelanggaran HAM yang berat. “Tanpa mengungkap kebenaran tidak ada gunanya,” ucap Amir. Pengungkapan kebenaran, dinilainya menjadi upaya dalam memenuhi hak untuk tahu, bukan hanya kepada korban tetapi kepada bangsa Indonesia.

Amir juga menjelaskan bahwa Komnas HAM belum diajak berdiskusi terkait konsep KKR yang tengah dirancang oleh Kemenkumham. Melibatkan banyak pihak, terutama perwakilan korban dan keluarga korban, menurutnya hal yang sebaiknya dilakukan Pemerintah agar nantinya hadirnya UU KKR tersebut mampu memberikan keadilan bagi korban dan pemulihan serta pelindungan hak korban dan keluarga korban.

Narasumber lainnya dosen di program studi Diplomasi Pertahanan Universitas Pertahanan Prof. Dr. Makarim Wibisono, M.A juga menyampaikan pembentukan KKR perlu melibatkan wakil instansi penegak hukum dan berbagai pihak. “Perlu dimasukkan wakil dari Komnas HAM, wakil dari korban, wakil dari pelaku, akademisi, LSM, dan tokoh HAM,” ujar Makarim. Dalam pelaksanaannya, Duta Besar RI PBB periode 2004-2007 ini menyebutkan, KKR nantinya harus menyelesaikan tugasnya dalam kurun waktu 1,5 tahun.

Indonesia pernah memiliki UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai pelengkap dari mekanisme yudisial UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun sayangnya, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 006/PUUIV/2006 membatalkan UU tersebut atas dasar Pasal 27 dinilai tidak sesuai UUD 1945 dan merupakan pasal jantung sehingga membatalkan keseluruhan UU KKR. Dampak dari putusan tersebut, hingga kini dasar hukum dalam penyelesaian pelanggaran HAM yang berat hanya tertumpu pada kehadiran Pengadilan HAM. (AM/IW)
Short link