Kabar Latuharhary

Komnas HAM: Pelanggaran Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Terjadi di Ruang Digital

Jakarta-Perkembangan era digital menjadi medium baru bagi para pelaku pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia.


Komnas HAM mencatat sepanjang tahun 2020-2021 terdapat 44 kasus terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi. Angka tersebut berasal dari 29 kasus pengaduan masyarakat dan 15 kasus dari media monitoring yang dilakukan oleh Tim Pemantauan Situasi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat.



“Untuk konteks ruang, dari 44 kasus, setidaknya peristiwa pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi itu terjadi pada ruang digital. Itu paling mendominasi, yaitu sebesar 52 persen,” terang Koordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Endang Sri Melani dalam Konferensi Pers Situasi Kebebasan dan Berekspresi Tahun 2020-2021, Senin (17/1/2022).


Pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi juga terjadi pada karya jurnalistik (19%), pendapat di muka umum (17%), diskusi ilmiah (10%), dan kesaksian di pengadilan (2%).


Dari konteks tindakan, mayoritas pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi terjadi dalam bentuk serangan digital. “Untuk serangan digital terdapat 9 kasus ditangani pada tahun 2020. Meningkat pada 2021 menjadi 12 kasus,” terang Melani. 


Tindakan lain yang mendominasi dalam kasus pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi periode 2020-2021, di antaranya kriminalisasi 18 kasus serta intimidasi, ancaman dan teror sebanyak 8 kasus.


Komnas HAM juga mengidentifikasi lebih mendalam terkait pola serangan digital dalam konteks kebebasan berpendapat dan berekspresi. “Ada sembilan bentuk serangan digital. Dari sembilan tindakan tersebut, tindakan kekerasan atau hijacking adalah modus yang paling tinggi dalam kasus pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi,” ucap Anggota Tim sekaligus Analis Pelanggaran HAM Arief.


Terindikasi juga bentuk lain dari serangan digital, yaitu spam call sebanyak 6 kasus, doxing 4 kasus, serangan hoaks 4 kasus, serangan buzzer 3 kasus, serta serangan siar kebencian, zoombombing dan defacing masing-masing satu kasus.


Dari total 18 kasus peretasan/hijacking yang terjadi pada 2020-2021, akun media sosial seringkali menjadi target peretasan. “Sasaran peretasan yang paling tinggi ialah WhatsApp,” terang Arief. Disusul kemudian email, Instagram, Telegram. Twitter, Youtube, hingga website juga menjadi target peretasan.


Sementara itu, korban peretasan media sosial terbanyak menimpa aktivis, diikuti penggiat anti korupsi, jurnalis, mahasiswa, organisasi mahasiswa, NGO, akademisi dan individu. “Jika kita korelasikan, peretasan ini terkait dengan kritikan, pendapat bahkan karya jurnalistik, hingga pemberitaan yang bersinggungan dengan isu nasional dan menjadi perhatian publik” jelasnya. (AM/IW)
Short link