Kabar Latuharhary

Komnas HAM Dorong Komitmen Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat


Komnas HAM RI memandang penting untuk mengingatkan negara dan pemerintah akan kewajiban konstitusional dan tanggung jawab hukum serta kewajiban HAM internasional terkait akuntabilitas atas pelanggaran HAM berat dan reparasi yang efektif bagi korban pelanggaran HAM berat. 


“Penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang belum tuntas dan berlarut-larut berdampak pada terhambatnya pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat,” ujar Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik saat menjadi pembicara pada AICHR Consultation on the Right to an Effective Remedy in ASEAN, Session III: National Mechanisms to uphold the Rights to an Effective Remedy in the ASEAN Region: Challenges and Good Practices in Fulfilling the Rights of Victims bersama dua pembicara lain, Wakil Ketua LPSK Antonius PS. Wibowo, SH. MH., dan Executive Director CHRP Jacqueline De Guia melalui zoom meeting, Kamis (18/5/2022).



Berangkat dari hal itu, Indonesia juga masih  terus berupaya mewujudkan komitmennya untuk menelusuri berbagai pelanggaran HAM yang terjadi dan memperkuat sistem perlindungan HAM, tidak hanya pada tataran regulasi saja, tetapi juga pada tataran praktik.



Mekanisme penyelesaian Pelanggaran HAM Berat didasarkan pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang ini mengatur bahwa penyelesaian pelanggaran HAM dilakukan dengan Pengadilan HAM dan untuk kasus pelanggaran berat masa lalu dilakukan dengan dua cara penyelesaian yaitu melalui Pengadilan HAM ad hoc dan dapat melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 


Dari 15 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM RI, hanya tiga kasus yang diajukan dan diputus oleh pengadilan yaitu, Peristiwa Timor-Timur, Peristiwa Tanjung Priok dan Peristiwa Abepura. Terbaru, Kejaksaan Agung membentuk Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM Berat di Paniai, Papua pada 2014. Pembentukan itu berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 267 Tahun 2021 tanggal 3 Desember 2021 yang ditandatangani oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.


Sedangkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), merupakan amanat Ketetapan MPR dan menjadi salah satu mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat. Satu-satunya mekanisme pengungkapan kebenaran melalui KKR yang telah terbentuk adalah KKR Aceh yang dasar hukumnya berbeda.


Unsur terpenting yang semestinya menjadi perhatian, yakni soal korban. Korban pelanggaran hak asasi manusia adalah orang-orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerugian substansial atas hak-hak dasarnya. Korban juga termasuk keluarga dekat atau tanggungan korban langsung.


Taufan menilai pemenuhan hak korban dalam jumlah terbatas juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah. “Inisiatif pemulihan hak-hak korban lokal yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah ini masih perlu diperkuat dan mendapat dukungan dari pemerintah pusat sebagai bagian penting dari pemulihan hak-hak korban,” ujar Taufan.


Dari segi hukum dan peraturan nasional maupun instrumen hukum hak asasi manusia internasional, lanjut Taufan, memberikan kewajiban kepada negara untuk memberikan pemulihan yang efektif bagi para korban. 


Proses penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat masih mengalami kendala dengan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc. Di sisi lain, pelanggaran HAM berat ini menimbulkan korban berupa hilangnya nyawa, luka fisik dan mental, kerugian sosial dan ekonomi, harta benda, perlakuan diskriminatif dan stigmatisasi, hilangnya hak-hak sipil, dan hilangnya hak asasi manusia lainnya ini menjadi perhatian Komnas HAM RI.


Dijelaskan Taufan, para korban, di tengah stagnansi penyelesaian pelanggaran HAM berat secara mandiri melakukan berbagai upaya dan inisiatif baik melalui upaya hukum, administratif maupun kolektif dengan elemen masyarakat sipil lainnya. Misalnya, pemulihan hak memilih dan memilih mantan tahanan politik dalam pemilu melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Berbagai tuntutan hukum juga dilakukan oleh korban baik melalui mekanisme perdata, administrasi maupun jalur hukum lainnya, di antaranya berhasil memulihkan hak-haknya. Namun, dalam sejumlah putusan pengadilan, negara dan pemerintah juga tidak melakukan eksekusi terhadap putusan pengadilan tersebut.(AAP/IW)
Short link