Kabar Latuharhary

Komnas HAM Dorong Jayapura dan Sekitarnya Terapkan Kabupaten/Kota HAM

Jayapura - “Kerja-kerja dalam Hak Asasi Manusia (HAM) membutuhkan adanya kolaborasi antara negara dengan masyarakat sipil. Inilah yang dilakukan oleh Komnas HAM bersama dengan Indonesia AIDS Coalition (IAC)”, demikian disampaikan Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM, Anis Hidayah saat memberikan sambutan dan membuka Pelatihan Kabupaten/Kota HAM untuk Mendorong Pemenuhan HAM Populasi Kunci yang dilaksanakan pada 25 – 27 September 2023 di Jayapura, Papua. Pelatihan ini diikuti oleh 27 peserta dari dinas-dinas pemerintahan daerah Kabupaten/Kota Jayapura, Kabupaten Keerom. serta organisasi masyarakat sipil yang konsen dalam penanggulangan HIV.

Pelatihan dilaksanakan dengan tujuan utama agar Kota Jayapura dan sekitarnya menerapkan Kabupaten/Kota HAM dengan memprioritaskan jaminan pemenuhan HAM bagi kelompok rentan khususnya Orang Dengan HIV dan Populasi Kunci. Populasi Kunci merupakan kelompok yang rentan terhadap penularan HIV. Populasi ini mencakup wanita pekerja seks (WPS), waria, lelaki seks dengan lelaki (LSL), dan pengguna napza suntik (penasun), Ibu Hamil, dan Pasien TBC. Perlu untuk diketahui berdasarkan data Juni 2022 dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)Provinsi Papua prevalensi HIV dan AIDS di Papua sebanyak 50.502 jiwa. Sedangkan data KPA Kota Jayapura pada Juni 2023 jumlah prevalensi HIV dan AIDS sebanyak 7. 614 orang.   

Pelatihan diawali dengan sesi HAM Dasar yang disampaikan Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Saurlin P. Siagian. Sesi ini membahas mengenai definisi, prinsip-prinsip, dinamika, dan hukum Hak Asasi Manusia. Dalam paparannya Saurlin menegaskan bahwa HAM sangat berkaitan dengan Negara beserta aparat negaranya yang memiliki kewenangan dalam kewajibannya untuk pemenuhan, penghormatan, dan pelindungan HAM. “HAM pada awalnya hanya terkait dengan martabat manusia namun dalam dinamika perkembangannya Negara sebagai pihak pemangku kewajiban untuk melakukan pelindungan, penghormatan dan pemenuhannya.”      

Peran Negara dalam kewajiban HAM terutama dalam konteks lokal Indonesia ditegaskan kembali oleh Anis Hidayah dalam sesi Hak atas Kota dan Penerapan Kabupaten/Kota HAM. Anis menyatakan bahwa Kabupaten/Kota atau Pemerintah Daerah sebagai pihak yang sama pentingnya dengan pemerintah pusat, terlebih Indonesia telah menerapkan otonomi daerah dalam sistem pemerintahannya. Maka dalam konteks HAM Pemerintah Daerah juga sebagai pemangku kewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menegakan HAM. Apabila pemerintah daerah lalai dalam pelaksanaannya maka patut diduga adanya pelanggaran HAM. Tercatat dalam data pengaduan dugaan pelanggaran HAM, pemerintah daerah berada di peringkat tiga besar sebagai pihak yang diadukan masyarakat. “Berdasarkan data pengaduan, Komnas HAM mencatat pemerintah daerah menjadi salah satu pihak yang berada di posisi tiga besar bersama Polisi dan Korporasi dalam dugaan pelanggaran HAM,” ujar Anis.

Lebih lanjut Anis menjelaskan tentang Hak atas Kota yang dikutip dari Lefebvre sebagai sebuah upaya untuk merestrukturisasi relasi kekuasaan yang mendasari upaya penciptaan ruang-publik. Ruang lingkup tidak hanya terkait kota tapi juga termasuk, desa, tempat tinggal, pemukiman, wilayah pinggiran, atau tempat tinggal lain yang secara institusional terorganisir sebagai pemerintah lokal. Hak atas kota memberikan ruang bagi penduduk kota untuk memberikan suaranya dalam pembuatan kebijakan yang terkait langsung dengan pembentukan ruang-publik bagi masyarakat. Dan ini artinya semua warga berhak mendapatkan hak untuk memberi suara di kota.  

Penerapan Hak atas Kota ditopang Pembangunan berbasis HAM. Pembangunan berbasis HAM merupakan proses pengintegrasian norma-norma, standar-standar, dan prinsip-prinsip hak asasi manusia ke dalam seluruh analisis, rencana, kebijakan, dan proses pembangunan  secara keseluruhan. Pembangunan dalam HAM adalah hak berpartisipasi berkontribusi, dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan politik demi mewujudkan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental yang dimiliki individu atau kelompok. Artinya segala penerapan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh negara harus didasari oleh kebutuhan/aspirasi warganya yang berdaya. Maka untuk mewujudkan pembangunan berbasis HAM diperlukan prinsip partisipasi, akuntabilitas, pemberdayaan, berhubungan langsung dengan hak, serta memprioritaskan kelompok-kelompok rentan.

Dalam pelatihan ini para peserta juga dijelaskan mengenai apa itu polulasi kunci dan bagaimana kondisi mereka saat ini. Hilmansyah Panji, Fasilitator dari Indonesian AIDS Coalition (IAC), menjelaskan bagaimana saat ini kondisi ODHIV dan populasi kunci yang mengalami stigma dan diskriminasi enggan melanjutkan pengobatan.

“ODHIV yang telah melakukan tes HIV dan mengetahui hasilnya, banyak yang akhirnya tidak melakukan terapi ARV—Antiretroviral. Mereka khawatir ‘status’ mereka diketahui oleh orang-orang terdekat. Inilah yang akan menurunkan kualitas hidup mereka,” jelas Panji. 

Dalam proses pelatihan yang dilaksanakan selama tiga hari antusiasme peserta sangatlah tinggi. Hampir semua peserta pelatihan berbagi pengalaman mereka terkait tugas-tugasnya dan pandangan mereka terhadap ODHIV dan Populasi Kunci. Mereka berharap agar Komnas HAM yang berwenang dalam menciptakan situasi yang kondusif turut memberikan arahan agar Kabupaten/Kota HAM dapat diterapkan di Kabupaten/Kota Jayapura dan Keerom. 

Saat memberikan sambutan penutupan pelatihan, Koordinator Sub Komisi Pemajuan HAM, Anis Hidayah menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan awal bagi Pemda Jayapura dan sekitarnya untuk menerapkan kabupaten/kota HAM.

“Komnas HAM terbuka untuk koordinasi dan komunikasi agar kabupaten/Kota HAM dapat terwujud di wilayah ini,” tegasnya. 

 

Penulis : Banu Abdillah

Editor : Liza Yolanda

Short link